Duka, Air Mata, dan Kesedihan Orang Lain Bukanlah Konten

Yuniastika Datu/Fathir
Yuniastika Datu. Foto: Ist

PenulisYuniastika Datu

Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, semua hadir dan aktif di sana. Ini tentu merupakan perkembangan yang luar biasa, menandakan betapa cepatnya kita beradaptasi dengan teknologi. Terlebih lagi, godaan monetisasi yang ditawarkan oleh berbagai platform mendorong kita untuk terus "berkarya", mengunggah setiap sudut kehidupan.

Namun, ada satu prinsip dasar yang kerap dilupakan: saring sebelum berbagi. Terutama saat menyangkut peristiwa duka, seperti meninggalnya seseorang. Jari-jari kita kerap terlalu cepat mengambil gambar, lalu membagikannya di media sosial, demi meraih banyak interaksi dari audiens, baik itu tanda komentar, tanda suka maupun untuk meningkatkan jumlah penonton dan jam tayang.

Ironisnya, kita sering melihat foto-foto yang menyedihkan beredar di linimasa: jenazah yang masih terpasang alat medis, belum dimandikan, bahkan dalam kondisi yang sangat tidak layak seperti mulut terbuka, tinggal tulang belulang, atau berlumuran darah. Area duka yang masih kacau pun tak luput dari bidikan kamera.

Pernahkah kita merenung sejenak, betapa tidak etisnya tindakan seperti itu?

Padahal, sejatinya setiap orang ingin dikenang dalam versi terbaik dirinya. Kita sendiri, ketika hendak mengunggah foto, sering kali memilih dan mengeditnya agar terlihat layak dan estetis. Lalu, mengapa ketika seseorang telah tiada, kita begitu mudah membagikan gambar yang jauh dari kata pantas?

Andai saja mereka bisa bersuara, mungkin kita akan mendengar jeritan sedih:
"Tolong, jangan ambil foto saya!"
"Tolong edit dulu, jangan unggah yang ini!"
"Kasihan anak cucuku nanti sedih melihatnya..."

Tiada hanya itu, kehadiran kita dirumah duka bukan lagi untuk ikut berkabung tapi berlomba-lomba untuk melakukan siaran langsung. Tagisan duka keluarga (menangis histeris, pingsan, dan lainnya) seolah menjadi konten yang cukup keren.

Kita sering lupa mempertimbangkan perasaan keluarga yang sedang berduka. Bagaimana jika suatu hari nanti, anak atau cucu mereka menemukan foto-foto itu di internet? Bukannya menjadi penghiburan, justru bisa memperdalam luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Ketika seorang teman meminta saya membuatkan ungkapan belasungkawa, saya akan mencari foto terbaik almarhum, lalu mendesainnya sebaik mungkin, tujuannya untuk apa? Untuk memberikan penghormatan terakhir dan menghadirkan ketenangan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Tidak ada salahnya menyampaikan belasungkawa di media sosial, namun tolong, unggahlah foto atau video yang layak dan pantas untuk dilihat publik.

Menggunakan media sosial juga memiliki etika, sebagaimana seorang jurnalis yang selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam setiap liputannya, sebagai konten creator juga diwajibkan untuk mematuhi etika digital.

Sudah saatnya kita bercermin dan bertanya pada diri sendiri:
Apakah likes dan views lebih penting daripada rasa hormat dan empati?
Apakah sampai hati,  kita meraup keuntungan dari duka orang lain? Apakah kita bangga,  menjadi viral diatas air mata orang lain? 
Bukankah konten itu seharusnya yang memberikan manfaat bagi banyak orang bukan sebaliknya merugikan orang lain?

Mari gunakan media sosial dengan bijak. Ciptakan konten yang bermanfaat, bukan yang menambah duka bagi sesama.

Editor : A. Rudi Fathir

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network