MAMUJU, iNewsMamuju.id -- Impian-impian ideal yang terlintas dalam pikiran seringkali membuat manusia terhempas dalam kebingungan dan kekesalan.
Itu menunjukkan betapa banyak hal yang selama ini diimpikan secara ideal, namun dalam zona empirisnya, kita hanya menyaksikan potongan-potongan ide yang mencoba beradaptasi dengan hamparan realitas.
Dalam filsafat stoikisme, kita menjumpai sejumlah prinsip-prinsip dasar agar manusia tidak melulu mengisi hidupnya dengan kekesalan sepanjang waktu. Agnggap saja semacam tawaran sederhana untuk menikmati kebahagiaan dalam hidup.
Pertama, Kebajikan adalah hal utama, yang lainnya tidaklah penting. Bahwa untuk menjadi bahagia, seorang manusia haruslah memastikan diri bahwa apa yang dilakukannya akan mengantarnya pada kebajikan. Mulai dari awal hingga akhir, seluruhnya harus berdimensi kebajikan. Niat yang baik, cara yang baik, serta hasil yang baik mesti bergerak dalam satu nafas.
Niat yang baik namun dijabarkan dengan cara yang tidak baik justeru akan menjadikan seseorang mengalami dilema. Lebih ironis jika ada niat yang buruk lalu dikemas dalam citra yang baik, akan membuat manusia mengalami penderitaan berkepanjangan.
Kedua, Mengikuti alam. Bahwa di antara kelemahan yang dialami oleh manusia adalah hasrat kuat untuk menjadi pengendali berbagai hal. Bahkan sesekali hendak menjadi sang penakluk terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupannya.
Padahal, ia lupa. Bahwa untuk menjadi bahagia, cukup belajar pada ritme kehidupan alam. Bahwa anda boleh tumbuh dan berkembang sesuai dengan cita hidup masing-masing.
Namun jangan lupa, ada pihak lain yang boleh jadi berbeda dalam visi kehidupan. Memaksakan agar ide dan pikiran kita sejalan bagi semua orang adalah bentuk kemustahilan. Maka, mulai saat ini, mari belajar untuk merestui kehidupan. Bukan terus-menerus menjadi pengutuk kehidupan.
Ketiga, Dikotomi kendali diri. Bahwa untuk menjadi manusia yang bahagia, belajarlah untuk membiasakan sikap fair. Bahwa apa yang diinginkan oleh orang lain tidaklah mesti selalu sama dengan apa yang kita pikirkan. Cita-cita yang hendak dicapai oleh orang lain boleh jadi akan berbenturan dengan cita-cita kita. Di sinilah kita belajar adaptasi dunia kompetisi. Biasakanlah berpikir fairness. Hindarilah berpikir tentang kecurangan dan keculasan.
Jikapun kecurangan dan keculasan itu yang hadir di permukaan, jadilah orang yang beragama. Bahwa hidup ini ada dalam kendali Tuhan. Tidak mungkin Tuhan akan mebiarkan kecurangan dan keculasan itu terus mendera kehidupan. Pesannya tegas, jika ada yang mencoba melakukan tipu daya, maka Tuhan bersama bala tentaranya memiliki cara untuk menghabisi siapapun yang mencoba merusak harmoni kehidupan.
Itu bahasa keadilan. Sementara dalam bahasa kearifan, Tuhan sedang menguji kita untuk belajar menjadi pemaaf bagi kehidupan.
Oleh: Nur Salim Ismail
Editor : A. Rudi Fathir