MAMUJU, iNewsMamuju.id – Ada yang berbeda di Hari Jadi Mamuju ke-485 tahun. Sebuah potret sederhana mencuri perhatian banyak mata: empat bupati dari masa ke masa berdiri bersama dalam satu bingkai sejarah.
Di antara riuh peringatan yang digelar dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Mamuju, Senin (14/7/2024), suasana mendadak menjadi penuh makna. Tak ada pidato yang lebih lantang dari kehadiran itu—Almalik Pababari, Suhardi Duka, Habsi Wahid, dan Sitti Sutinah Suhardi. Mereka tidak hanya hadir, tetapi berkumpul.
Mereka mewakili perjalanan panjang sebuah kabupaten—dari tahun ke tahun, dari tangan ke tangan.
Sitti Sutinah Suhardi, bupati perempuan pertama di Mamuju, punya cara sendiri menyambut hari istimewa itu.
Ia tak hanya mencetak undangan, tapi mengantarnya sendiri. Ia dan wakilnya datang bersilaturahmi ke rumah para pendahulunya—dengan niat tulus meminta mereka hadir, duduk bersama, dan menyatu dalam satu cerita.
"Jadi saya kemarin bersama dengan Pak Wakil Bupati datang langsung bersilaturahmi ke kediaman beliau untuk meminta kesediaan hadir di hari jadi Mamuju," katanya, lirih dan bersyukur.
Tak sekadar menghadirkan nama, Sutinah menghadirkan jiwa. Ia tahu, perjalanan hari ini tak lepas dari jejak-jejak yang ditinggalkan para pemimpin sebelumnya. Maka ia pun menyambut kehadiran mereka dengan hati penuh terima kasih.
"Tentu ini hari jadi Mamuju, hari jadi kita semua. Jadi tentu kita sangat senang sekali, berterima kasih saya atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Mamuju atas kehadiran para bupati pada masanya. Ada Pak SDK, ada Pak Malik, ada Pak Habsi," ucapnya.
Gubernur Sulbar Suhardi Duka, yang juga pernah dua periode menjabat Bupati Mamuju, menyampaikan pesan yang tak kalah dalam.
"Setiap pemerintahan tidak pernah ada yang sempurna tapi selalu ada bekas yang ditinggalkan yang baik. Bupati-bupati sebelumnya telah menanamkan hal baik untuk daerah ini. Olehnya itu bupati sekarang perlu menghargai jasa setiap para bupati," kata SDK saat memberi sambutan.
Ia kemudian membagikan foto kebersamaan itu di akun resmi miliknya. Sebuah foto yang tak sekadar memperlihatkan senyum, tapi juga menjahit waktu—masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Di tengah usia yang nyaris lima abad, Mamuju tak sekadar berpesta. Ia belajar mengingat, menghargai, dan merangkul.
Karena perjalanan sebuah daerah bukan hanya tentang siapa yang memimpin hari ini, tapi tentang siapa saja yang pernah menanam untuk esok.
Editor : Lukman Rahim
Artikel Terkait