Korban yang berjatuhan akibat program MBG sejatinya berakar dari tidak adanya profesionalisme dalam pengelolaan dapur.
Jika dibandingkan dengan pengelola warung makan yang telah puluhan tahun bergelut dalam dunia kuliner, terlihat jelas perbedaan yang mencolok.
Para pemilik warung memulai dari melayani sedikit pelanggan, lalu berkembang hingga mampu melayani banyak orang. Seiring waktu, manajemen mereka terbentuk secara alami, mulai dari cara menyiapkan makanan yang sehat dan layak konsumsi, hingga mengelola stok bahan baku dalam jumlah besar.
Fakta di lapangan menunjukkan, jarang sekali kita mendengar kasus keracunan makanan di warung makan. Mengapa demikian? Karena mereka bekerja dengan penuh profesionalisme, tidak sekadar mengejar laba, tetapi juga memikirkan kualitas makanan yang mereka sajikan.
Berbeda halnya dengan MBG. Program ini banyak dikelola oleh orang orang yang tidak memiliki pengalaman dan keahlian di bidang pengelolaan makanan. Mereka langsung dihadapkan pada tantangan besar: menyiapkan ribuan porsi sekaligus, tanpa bekal manajemen dapur yang memadai. Alhasil, makanan yang seharusnya bergizi justru berakhir tidak layak konsumsi, bahkan ada yang berulat.
Inilah alasan mengapa pemerintah harus meninjau ulang kelayakan program MBG. Tanpa sumber daya manusia yang profesional, kasus serupa akan terus berulang.
Pengalaman panjang para pemilik warung makan membuktikan bahwa manajemen dapur bukan sekadar soal memasak dalam jumlah banyak, melainkan soal konsistensi menjaga kualitas dan kesehatan konsumsi masyarakat. Perbedaan inilah yang membuat hasilnya sangat kontras, warung makan mampu bertahan puluhan tahun tanpa kasus keracunan massal, sementara MBG justru meninggalkan jejak korban.
Pemerintah pusat mesti berani mengevaluasi dan menempatkan asas manfaat di atas kepentingan program semata, agar para pelajar tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang dipaksakan tanpa fondasi profesionalisme,
Herman Kadir
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Polewali Mandar
Editor : Lukman Rahim
Artikel Terkait