PASANGKAYU, iNewsMamuju.id -- Kawasan pegunungan Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dihuni sejumlah suku Bunggu, Da’a dan suku lainnya, dimana suku Bunggu memiliki kekayaan budaya yang harus dilestarikan.
Suku Bunggu adalah potret kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Suku yang tinggal di kawasan pegunungan di Mamuju Utara ini punya berbagai keunikan, yang jarang dilakukan oleh manusia kebanyakan. Suku ini hidup di atas pohon dan memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupannya.
Suku ini berakar dari Suku Kaili di Sulawesi Tengah. Nenek moyang Suku Kaili kemudian menyebar ke sejumlah wilayah dan membentuk perkampungan baru. Dari sanalah muncul beberapa suku baru, seperti Bunggu, Da’a dan suku lainnya.
Suku Bunggu sejatinya hidup dengan membuat rumah di atas pohon. Namun seiring sentuhan perkembangan zaman, jumlah rumah pohon sudah berkurang karena mereka mulai membangun rumah sederhana yang memanfaatkan hasil alam, seperti tiang dari batang kayu bulat dan rotan untuk mengikat komponen rumah.
Rumah suku bunggu berukuran 4x6 meter dengan tinggi 2-3 meter. Rumah terbagi menjadi dua ruangan, yakni untuk menerima tamu dan tempat beristirahat sekaligus memasak.
Suku ini juga dikenal nomaden alias berpindah-pindah. Rumah yang mereka tempati hanya bertahan hingga 6 bulan. Setelahnya mereka mencari lahan untuk dibangun pemukiman baru. Lokasi baru itu biasanya sekitar 5-7 kilometer dari pemukiman sebelumnya.
Adat Bunggu menjadi perhatian utama, sebab selain potensi perikananan dan kelautan dengan garis pantai yang terbentang sepanjang 150 KM, keberadaan komunitas budaya Bunggu yang menjadi khas lokal ini juga juga tak kalah menarik untuk dikembangkan untuk dijadikan destinasi wisata.
Ketua PD Bhayangkari Sulbar Saat Disambut Warga Suku Bunggu
Masyarakat Bunggu juga memiliki rumah Adat (Sou) yang cukup unik, karena dibangun di atas pohon yang sekarang mulai jarang terlihat. Mereka juga mempunyai tempat pertemuan khusus yang disebut Bantaya (Soupolibu) dengan bagian-bagian bangunannya berbahan dasar bambu beratap daun rotan (Lauro) dan alang-alang (Jono).
Namun kebaradaan kekayaan budaya warga yang berasal dari lereng gunung Penembani (Sulawesi Tengah) ini sudah mulai punah terkikis modernisasi, baik pakaian, rumah yang mereka tempati hingga Bantaya yang ada sekarang sudah tak sesuai dengan arsitektur aslinya.
Sehingga diperlukan kesadaran semua pihak terutama intervensi pemerintah daerah untuk melakukan pelestarian budaya khas tersebut. Sebab bila itu tak dilakukan sekarang maka budaya ini akan ditelan oleh sejarah.
Kabupaten Pasangkayu terbentuk menjadi daerah otonomi baru (DOB) berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.
Saat menjadi DOB, Kabupaten Pasangkayu bernama Kabupaten Mamuju Utara. Berubah nama menjadi Kabupaten Pasangkayu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2017.
Luas wilayah Kabupaten Pasangkayu 3.043,75 kilometer-2 (km2) dengan ibukota kabupaten di Kelurahan Pasangkayu. Memiliki sumber daya alam (SDA) menjanjikan pada sektor pertanian, perkebunan serta perikanan terus berbenah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Letak wilayah geografis Kabupaten Pasangkayu berbatasan di sebelah selatan Kabupaten Mamuju Tengah, sebelah timur Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, sebelah utara Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, dan sebelah barat Selat Makassar.
Kabupaten Pasangkayu memiliki 12 kecamatan dengan 63 desa/kelurahan. Panjang garis pantai sekitar 157 km didiami beragam masyarakat dari 14 suku, sehingga Kabupaten Pasangkayu memiliki potensi budaya dan pariwisata menjanjikan untuk dikelola secara optimal dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
Andi Latifa Arifin S.Pd, mengatakan, kunjungan ibu kapolda Ny Miranti Adang Ginanjar ke kampung Bunggu luar merupakan langkah positif dalam memperluas dialog antara komunitas dalam.
Hal ini memungkinkan ibu kapolda untuk mendengarkan dan melihat langsung kebutuhan masyarakat bunggu serta memperkuat keterlibatan pemerintah dalam membangun hubungan yang lebih baik.
"Di tambah lagi Penggunaan baju kulit kayu oleh ibu kapolda sendiri yang menunjukkan kearifan lokal masyarakat bunggu dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan," Ujar Andi Latifa Arifin S.Pd.
Andi Latifa Arifin, pemerhati seniman Kabupaten Pasasangkayu mengatakan, Suku Bunggu adalah potret kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Suku yang tinggal di kawasan pegunungan di Mamuju Utara ini punya berbagai keunikan, yang jarang dilakukan oleh manusia kebanyakan. Dimana suku ini hidup di atas pohon dan memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupannya.
"Saya bukan orang bunggu asli, melihat ibu kapolda menggunakan baju kulit kayu, saya merasakan bahwa masyarakat bunggu bangga dengan melihatnya, Ini juga mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi unik mereka yang patut dihargai dan dilestarikan," Tutup Andi Latifa Arifin.
Editor : A. Rudi Fathir
Artikel Terkait