MAMUJU, iNewsMamuju.id - Isu proporsional tertutup untuk model Pemilihan umum kembali santer diperbincangkan. Sejumlah partai politik memiliki ragam reaksi yang berbeda.
Menanggapi isu ini, ketua harian Golkar Sulbar Irwan Satya Putra Pababari menyebut, isu proporsional tertutup mengemuka sejak Pemilu tahun 2014 dan 2019. Namun belakangan ini ditolak kalangan politisi dan praktisi politik.
"Saya kira kurang pas dengan proporsional tertutup, ini adalah kemunduran demokrasi," jelasnya saat dihubungi iNewsMamuju.id, Minggu (8/1/2023).
Menurut Irwan Pababari, gaya proporsional terbuka saat ini sudah merepresentasikan seorang politisi yang masuk dilembaga legislatif. Politisi dalam hal ini harus dikenal dan mengenal.
"Orang legislator harus mengenal rakyat, dan harus dikenal rakyatnya, konsekuensinya jika proporsional terbuka pemilihan dijalankan secara face to face," sebutnya.
Jika Proporsional tertutup berlaku maka dianggap seperti membeli kucing dalam karung. Irwan Pababari mengatakan, rakyat tidak akan mengenal seorang pemimpin yang lahir dari partai politik.
Salah satunya yaitu sistem oligarki kepartaian yang makin kuat. Dengannya, model pemilu ini dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai dasar demokrasi.
"Kalau propsional tertutup kita tidak akan tahu siapa entah siapa yang didelegasikan untuk merepresentasikan keterwakilan, terlepas dia terpilih atau tidak," ungkapnya.
Dampak proporsional pada akhirnya melahirkan politisi apabila tidak mendapat nomor urut 1 yang dianggap paling berpeluang menduduki kursi lembaga legislatif.
"Orang akan mencari mencari nomor urut satu, beda halnya dengan proporsional terbuka, misalnya di nomor urut 7 atau 30 itu bukan soal," tutupnya.
Editor : Adriansyah
Artikel Terkait